Kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Budiono menuai banyak kritik dan kontroversi, karena ditengah masa kerjanya presiden yang mendapat back-up dari beberapa parpol besar ini diguncang berbagai permasalahan diantaranya yang santer terdengar ke publik adalah kasus bailout bank century yang merugikan Negara setara dengan 6,7 trillyun rupiah. Kasus ini mau tidak mau membuat anggota DPR bergerak dengan membuat panitia hak angket. Dari hipotesis sementara yang dikeluarkan oleh panitia hak angket menyimpulkan bahwa kasus bank century murni adalah kesalahan bank Indonesia yang mengeluarkan keputusan untuk membailout bank tersebut, padahal dampak dari kollapsnya bank century tidak berdampak sistemik terhadap kondisi perekonomian bangsa ini. Sebagian angota dari panitia hak angket menyatakan hal senada tentang kondisi bank century tersebut. Hanya fraksi dari F-PKB dan F-demokrat saja yang mengatakan sebaliknya. Kondisi ini menggambarkan ketidakharmonisan antara hubungan koalisi yang mengusung pemerintah.
Dari awal seharusnya para anggota yang tergabung dalam koalisi paham akan konsekuensi yang terjadi pada koalisinya. Symbol ketidakharmonisan ini adalah menandakan bahwa tujuan awal dibentuknya koalisi tersebut adalah demi berbagi kekuasaan dalam pemerintahan. Hal tersebut didukung pula oleh penunjukkan menteri dalam kabinet yang notabene adalah anggota koalisi.
Para menteri yang basic-nya adalah kader dari parpol pendukung koalisi sangat diragukan kapabilitas atau kemampuannya, karena kinerja mereka cenderung menguntungkan partai tempat mereka bernaung. Issu reshuffle yang baru-baru ini berhembus tak menyinggung sedikitpun mengenai para menteri yang letar belakangnya dari partai politik. Akhir-akhir ini issu reshuffle berhembus pada pencopotan menteri keuangan sri mulyani yang terbelit kasus century.
Isu reshuffle malah bergeser pada para menteri yang berasal dari anggota koalisi. Hal ini patut dicermati bahwa perbedaan pendapat atau kebijakan dari anggota koalisi hendaknya lebih disikapi dengan dewasa. Bukan malah bersikap mendisiplinkan koalisi dengan cara mendepak kader partai yang partainya tak sepaham dengan koalisi tersebut. Harus diingat pula bahwa reshuffle dilakukan menyangkut masalah kredibilitas an kapabilitas para menteri sebagai profesional dibidang yang diamanahi kepada mereka. Pergeseran issu reshuffle ini patut diwaspadai agar tidak dijadikan pengalihan issu atas pergolakan politik yang terjadi karena kasusu bank century.
Memang pemerintahan baru saja berjalan sekitar 100 hari yang kinerjanya tak bisa diukur apakah berhasil atau tidak. Namun ada baiknya sejak dini para elit yang memegang kendali kekuasaan harus paham konsekuensi dari keterlibatan mereka dalam koalisi. Karena hakekat berkoalisi bukan hanya pada pembagian kekuasaan saja tetapi juga pemagian kerja berasaskan profesionalisme yang masih menjunjung nilai-nilai kebaikan dalam memerintah.
Walaupun hubungan antara kasus bank century dan reshuffle kabinet tak memiliki korelasi apapun. Namun hal tersebut patut dijadikan pembelajaran bagi dunia perpolitikan di negeri ini sehingga mereka lebih sadar dalam menjalankan pemerintahan yang berazaskan pada nilai-nilai profesionalisme kerja, sehingga terbentuk hasil kerja yang optimal dan dapat memberikan kontribusi bagi bangsa ini, dan juga mereka tak tercebur dalam pergolakan politik yang malah menjerumuskan mereka pada politik kepentingan dari beberapa pihak. Satu hal yang harus diingat bahwa pergolakan politik yang terjadi akibat imbas dari kasus bank century ini adalah akibat kebejatan moral yang mungkin saja silakukan oleh para elit politik untuk merebut dan melanggengakn mereak ke jalan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar